Jumat, 15 Mei 2020

Mengenang Perjuangan

Setelah pekan lalu pencarian mentor dan mentee, yang kudapat hanyalah mentor. Sementara mentee belum juga kudapat. Mungkin tema ilmu yg kuajukan belum jadi prioritas di mind map teman-teman. Tak apa.. justru aku jadi bisa lebih fokus menguyah ilmu sebagai mentee. 😍

Mentor yang kupilih ini saat ini tengah merantau di negeri nan jauh, sudah menikah 17 tahun dengan dikarunia 3 orang. Tema mentorship dari beliau adalah komunikasi suami istri.

Kupilih mentor dengan tema tersebut, sesuai dengan mind mapku, kuingin meningkatkan kedekatan dengan suami, memperbaiki komunikasi, dan makin mesra. Bukan berarti saat ini tidak dekat, komunikasi tidak baik dan tidak bisa mesra. Namun, setelah melewati 5 tahun pernikahan, kini menuju 6 tahun.. udah saking enjoynya tuh suka gak tahu diri menempatkan diri sebagai istri gitu 😣

Mentorku, memintaku untuk nostalgia.. mengapa dulu aku mau menerimanya menjadi suamiku? apa yang membuatku jatuh cinta padanya? bagaimana perjuanganku bisa sampai menjadi istrinya?

Pertanyaan-pertanyaan mentorku membuatku kembali menyelami kenangan itu.. khitbah yang tiba-tiba, ditolak, lalu beberapa tahun kemudian datang lagi, diterima, perjuangan meyakinkan keluarga besar, LDM, dst.. hingga kini..

Saat video call, aku ceritakan rasa yang kini kualami. Mentorku bilang, bersyukurlah kita berani mengakui kekurangan kita.. sehingga ada semangat untuk memperbaiki diri.

Lalu aku berkontemplasi, kini apa masalahku? Apa sebenarnya akar masalahnya? Bisa jadi sikap cuekku pada suami itu sebagai rasa seperti di atas angin.. gak ada rasa insecure, gimanapun tingkahku, gak mungkin lah suami gimana-gimana. Dia ngerti aku kok. Dia bisa memaklumi kok.

Betul sih percaya itu penting, tapi kepedean berlebihan tanpa sedikit pun rasa was was, kelak bisa jadi boomerang. Gak bisa jadi alasan dong meski hasil TM command di posisi atas, suami tetaplah menjadi qowwam.

Oke, aku harus memperbaiki diri. Perlahan.. meski sedikit demi sedikit namun tetap istiqomah terus memperbaiki diri. Layaknya kupu-kupu muda keluar dari kepompongnya.. perlahan sayap dibuka.. dikepakkan perlahan lalu akhirnya bisa terbang dan memberikan manfaat.

Bismillahirrahmanirrahiim.....

Selasa, 12 Mei 2020

Kuingin Lebih Taat

Saat itu aku masih semester 3. Belum terpikir serius akan menikah dalam waktu dekat. Belum siap betul.

Tiba-tiba aku mendapat kabar dari ibuku, ada seorang pria datang ke rumah menemui ayah ibuku. Pria itu sebenarnya sosok yang sudah kukenal. Aku bahkan cukup dekat dengannya sejak SMA. Ya aku tahu tak sepantasnya kami untuk dekat semacam itu. Tapi aku terlalu payah untuk menjaga hati.

Kami tidak menyatakan berstatus pacaran, bertemu pun jarang. Usia kami selisih 3 tahunan. Saat aku masuk kuliah, ia baru lulus dan kerja di luar kota. Jarang bertemu tapi cukup sering bertanya kabar lewat SMS dan kadang telpon.

Tak ada ucapan-ucapan sayang manja. Tapi kamu tahu kami saling suka. Kami pun tahu sebenarnya tak boleh dekat begitu. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghentikan hal itu. Melawan hawa nafsu yg sungguh sulit..

Lalu ia berkata ingin serius, ia mau menghalalkan hubungan kita. Aku menganggapnya hanya sesumbar saja. Aku pun asal jawab, "datang saja ke orangtuaku kalo berani!"

Sebelumnya ia memang pernah ke rumahku karena suatu hal, jadi dia memang sudah tau rumahku. Ia datang tanpa mengabariku dulu.

Hasilnya jelas saja orangtuaku tolak, aku pun belum siap. Orangtuaku menjawabnya, sekarang belum saatnya. Gak usah menunggu kalo ingin segera menikah, cari perempuan lain saja. Kalo pun masih belum berubah pikiran, nanti coba datang lagi saja kalo aku sudah semester 7. Asumsi ayahku semester 7 itu kan tinggal skripsi dan mungkin sudah lebih siap menikah.

Waktu berlalu, aku masih berkomunikasi dengan pria itu, meski gak sering lagi. Kalo dia sedang ke bandung, kadang kita bertemu. Hatiku masih gelisah, ini tak benar tapi tetap saja kulakukan.

Singkat cerita, sampailah aku di semester 7. Aku tak berharap pria itu akan datang. Mungkin ia menemukan wanita lain di kantornya atau dimana pun di luar sana.

Tiba-tiba ia datang lagi menemui orangtuaku. Saat itu aku memang lebih siap menikah, bahkan aku sudah ikut sekolah pra nikah dan beberapa seminar pra nikah juga.

Pria itu menunjukkan keseriusannya, nampak berbeda dari beberapa tahun lalu yg seolah ingin memenuhi nafsunya saja menghalalkan hubungan kami. Ternyata ia pun sudah ikut sekolah pra nikah.

Aku shalat istikharah berulang kali. Aku takut kecenderungan hatiku hanya berasal dari nafsuku, bukan karena ridho Allah. Aku minta ditunjukkan yg terbaik. Lalu yg kudapatkan adalah semakin mantap menerimanya.
Bismillahirrahmanirrahim... aku pun menerimanya..

Proses berlanjut dengan penuh kemudahan. Akhirnya kedua keluarga besar pun saling bertemu. Masalah kecil muncul saat paman bibiku tidak setuju kalo aku menikah sebelum lulus. Mereka meminta menundanya. Sementara hatiku sudah tak tenang menundanya. Aku takut terlarut dalam dosa.
Alhamdulillah orangtuaku menguatkan, aku sebagai cucu pertama di keluarga besar, maklum menjadi pusar perhatian. Ayahku bilang, paman bibiku belum punya anak besar, belum terbayang betul kalo datang lelaki baik yg meminang anaknya yg sudah siap menikah, bagaimana bisa menunda hanya alasan perkara studi?

Akhirnya, kami pun menikah sekitar 6 bulan setelah pertemuan keluarga besar. Pamanku yang tadi menentang justru membantu memberikan konsep unik di hari resepsi kami. Alhamdulillah..

Saat kumenikahinya.. baru lah aku sungguh benar-benar jatuh cinta padanya. Ia memang bukan lelaki sempurna, bukan seorang aktivis rohis, bukan hafidz qur'an, bukan pangeran tampan berkuda putih, tidak seperti pria idaman layaknya para akhwat aktivis rohis. Ia hanya pria yg semangat belajar, sabar, tulus dan perhatian. Ia mantan penabuh drum di band dengan aliran musik punk. Ia siap hijrah bersamaku.

Aku sempat bertanya pada Allah dengan rasa angkuh, mengapa hatiku terpaut pada pria semacam itu. Aku kan aktivis rohis, rajin liqo, dsb. Astaghfirullah..

Lalu Allah tunjukkan semuanya.. meski pemahaman teori agamaku nampak lebih banyak, tapi pengamalan ilmuku masih payah. Lain hal dengan pria yg kini menjadi suamiku, ia menjalankan syariat yg telah ia ketahui. Dan ternyata malah hafalan Qur'an ia lebih banyak dariku! Maasya Allah! Kini pun ia sudah berhenti menyukai musik punk. Lebih suka mendengarkan murattal dan shalawat.
Bahkan ia jauh lebih sabar daripada aku yang gampang sumbu pendek.

Kini menuju 6 tahun pernikahan. Aku masih merasa sering muncul rasa jumawa. Kurang menghormati suamim. Kurang menghargai bantuan suami. Bahkan kadang aku enggan melayani kebutuhan biologisnya.
Aku tau aku salah. Tapi aku merasa sulit sekali menurunkan ego. Aku tahu bakat command kua dominan, tapi tidak ada alasan begitu kah dalam ketaatan pada suami.

Aku bersyukur ia masih begitu sabar tapi aku tak boleh terus merasa baik-baik saja berlaku dzolim pada suamiku.
Aku pun harus berubah.
Bismillahirrahmanirrahim.....?